Jumat, 16 Maret 2012

Pasien Ginjal Belum Berani Cuci Darah Sendiri di Rumah

Browser anda tidak mendukung iFrame



(Foto: thinkstock)
Jakarta, Ketika ginjal mengalami kerusakan yang tak lagi dapat disembuhkan, maka cuci darah (hemodialisis) adalah upaya yang ditempuh untuk bertahan hidup oleh penderita. Cuci darah sebenarnya bisa dilakukan di rumah sendiri, tapi banyak pasien yang belum berani melakukannya.

Ginjal adalah organ yang penting untuk menyaring darah dan mengeluarkan racun dari dalam tubuh. Maka ketika ginjal rusak, akibatnya akan sangat mengganggu fungsi tubuh secara keseluruhan.

Kebanyakan dokter akan merekomendasikan cangkok ginjal. Sayangnya, metode ini cukup rumit karena sulit menemukan orang yang mau mendonorkan salah satu ginjalnya. Selain itu, biayanya sangat mahal.

Itulah sebabnya banyak orang yang lebih memilih melakukan prosedur cuci darah atau hemodialisis. Metode ini terhitung cukup merepotkan. Sebelum menjalani hemodialisis, pasien harus membatasi asupan makanan dan minuman.

Satu prosedur hemodialisis sendiri memakan waktu seharian. Pada pasien yang sudah sangat parah, bisa melakukan cuci darah sampai 4 kali dalam sebulan.

"Hemodialisis hanya bisa dilakukan di rumah sakit yang memiliki unit hemodialisis, yaitu hanya beberapa rumah sakit besar di Indonesia. Satu rumah sakit rata-rata hanya memiliki 2 unit alat hemodialisis. Sedangkan jumlah pasien gagal ginjal parah makin bertambah setiap tahunnya," kata dr Dharmeizer, Sp.PD-KGH, ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) dalam acara Media Luncheon Indonesia Peritoneal Dialysis College 2012 di Hotel Acacia, Jakarta (16/3/2012).

Untuk mengatasi masalah ini, sejak tahun 1990 di Indonesia sebenarnya telah memiliki prosedur cuci darah sendiri di rumah yang disebut Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD).

Dengan prosedur ini, pasien akan dipasangi kateter pada perutnya yang terhubung dengan rongga perut. Pasien hanya perlu memasukkan cairan pembersih lewat pipa kateter dan kemudian cairan akan menyerap racun-racun dalam darah.

Cairan limbah yang berisi racun ini kemudian dikeluarkan lagi lewat kateter, jadi prosedurnya mirip buka tutup. Pasien hanya perlu kontrol sebulan sekali.

CAPD bisa dilakukan sambil beraktifitas dan pasien tidak perlu pergi ke rumah sakit. Satu prosedur CAPD membutuhkan waktu setengah jam dan dilakukan 4 kali sehari. Meskipun praktis, ternyata tak banyak pasien yang mau menggunakan metode ini.

"Saat ini, tercatat ada sekitar 200.000-an pasien yang menjalani cuci darah. Tetapi yang menggunakan CAPD hanya 1.380 orang. Perbandingannya lebih kecil dari 1 : 10. Padahal dari segi biaya, ongkos CAPD relatif sama dengan hemodialisis," kata dr Dharmeizer.

Dr Dharmeizer mengatakan bahwa pasiennya yang melakukan prosedur cuci darah sendiri tidak mengalami efek samping yang berbahaya. Bahkan ada pasien yang telah menjalani CAPD selama belasan tahun dan masih bisa beraktivitas seperti biasa.

Menurutnya dengan prosedur ini, akan ada lebih banyak pasien yang merasa terbantu. Namun untuk mengenalkan metode ini ke masyarakat nampaknya masih perlu usaha keras.

Kenapa Pasen Lebih Suka Cuci Darah di RS Ketimbang Cuci Darah Sendiri?

"Mungkin kebanyakan orang Indonesia merasa lebih yakin apabila dilayani oleh suster dibandingkan mengerjakan sendiri. Mungkin juga orang merasa aneh melihat prosedurnya. Padahal unit hemodialisis sangat terbatas jumlahny dan tidak praktis," kata dr Maruhum Bonar Hasiholan Marbun, Sp.PD-KGH.

Dr Bonar menuturkan, CAPD sempat populer di awal 1990-an. Namun setelah terpaan krisis moneter, orang banyak meninggalkan metode ini karena mengira harganya mahal. Padahal harganya relatif sama dengan hemodialisis. Dan lagi, metode ini sudah tercakup oleh jamkesmas dan asuransi lainnya.

"Selain itu, peranan rumah sakit di daerah juga belum mendapat tempat dalam CAPD. Tidak semua dokter bisa menangani metode ini sebab memerlukan pelatihan untuk memasang peralatan di tubuh pasien. Hanya beberapa rumah sakit besar saja yang melayani CAPD," kata dr Bonar.

CAPD lebih banyak dipakai oleh para profesional yang banyak beraktifitas. Metode ini lebih praktis dan dapat dilakukan sembari beraktifitas. Pada CAPD pasien dipasangi kateter sebagai alat untuk memasukkan cairan pembersih darah. Pemasangan ini memerlukan operasi. Setelah operasi, pasien akan dirawat di rumah sakit selama seminggu untuk membiasakan diri melakulan cuci darah secara mandiri.

"Efek samping CAPD ini adalah infeksi pada tempat pemasangan kateter. Namun kemungkinanya paling buruk adalah 2,5 tahun setelah operasi. Tanda infeksi adalah ketika cairan hasil cuci darah berwarna keruh, harusnya bening," kata dr Bonar.

Dengan CAPD, pasien hanya perlu mengunjungi dokter sebulan sekali. Cairan pembersih yang digunakan dalam prosedur ini juga mengandung sejumlah nutrisi dan kalori yang penting bagi tubuh, sehingga sekaligus dapat menjaga asupan kalori pasien.


(pah/ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar