Rabu, 28 Maret 2012

Keluarga Miskin Perkotaan Punya Anak Lebih Banyak

Browser anda tidak mendukung iFrame



(Foto: thinkstock)
Jakarta, Kemiskinan di perkotaan bisa berakibat serius karena akan memperbanyak kantong-kantong kemiskinan. Hasil penelitian BKKBN menunjukkan jumlah anak yang dimiliki penduduk miskin perkotaan berkisar 3-6 orang.

Di kemudian hari, masalah ini akan menyebabkan berbagai masalah sosial seperti tingginya angka kriminalitas dan kesenjangan sosial.

Menurut riset BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2011 mencapai 29,98 juta orang, dan 10,95 juta berada di perkotaan.

Di antara daerah dengan jumlah penduduk miskin tersebut, tiga provinsi yang memiliki penduduk miskin tertinggi mewakili wilayah Jawa Bali adalah Jawa Tengah (14,33%), sedangkan dari wilayah luar Jawa Bali diwakili NTB (28,16%) dan Gorontalo (6,29%).

BKKBN melakukan penelitian pada 3 wilayah tersebut dan menemukan bahwa penduduk miskin perkotaan memiliki anak yang lebih banyak dibanding penduduk non miskin.

"Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anak yang dimiliki penduduk miskin perkotaan berkisar 3 - 6 orang. Apabila dirata-rata, jumlah anak yang dimiliki keluarga miskin adalah sebanyak 3, sedangkan keluarga non miskin rata-ratanya hanya 2,7," kata dr Julianto Witjaksono, SpOG-KFER, MGO, Deputi Bidang KB dan Kesehatan Reproduksi BKKBN dalam acara temu media bertajuk 'Menelisik Lorong Sempit KB untuk Si Miskin Perkotaan' di Aula Kantor Pusat BKKBN, Jakarta, Rabu (28/3/2012).

Yang memprihatinkan, anak-anak dari keluarga miskin banyak yang tidak tamat SD dan bekerja sebagai buruh bangunan dan serabutan.

Menyikapi hal ini, BKKBN menargetkan agar angka rata-rata jumlah anak yang dimiliki keluarga miskin dan non miskin turun menjadi 2,1 anak di tahun 2014 nanti.

Sejauh ini, upaya yang dilakukan BKKBN cukup optimal. Dari 8,3 juta peserta KB baru, 3,8 juta di antaranya berasal dari kelompok miskin perkotaan. Sebanyak 60% di antara total peserta tersebut benar-benar memiliki kesadaran ber-KB karena lebih mampu secara ekonomi.

"Yang menyebabkan tingginya jumlah anak pada keluarga miskin nampaknya adalah karena masyarakat miskin susah memahami KB. Resistensi mereka cukup tinggi sehingga merasa kurang pede untuk bergabung. Apalagi masyarakat miskin lebih sulit mengakses pusat-pusat hiburan dan rekreasi. Jadi ketika mereka bosan dan ingin hiburan, mereka lebih memilih berduaan di dalam kamar," kata dr Julianto.

Untuk masalah biaya seharusnya tidak menjadi masalah karena BKKBN telah menggratiskan seluruh pelayanan dan peralatan KB. Namun jika di lapangan ada oknum yang memungut biaya memang sering dijumpai. Untuk mengatasi kendala ini, diperlulan kerjasama dengan pemerintah daerah setempat.

(pah/ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar