Selasa, 26 Juli 2011

Ilmuwan Indonesia Bersatu Garap 'Kekayaan' Kuman

Your browser does not support iframes.



(Foto: thinkstock)Jakarta, Sebagai salah satu negara dengan jenis penyakit menular paling beragam, Indonesia masih menggantungkan kebutuhan vaksin dari luar negeri. Untuk bisa membuat vaksin sendiri, pemerintah, industri dan akademisi mulai merapatkan barisan.

Direktur Utama PT Biofarma, Drs Iskandar, Apt mengatakan dalam waktu dekat Indonesia akan menghadapi serbuan vaksin China. Dalam sebuah forum internasional, delegasi China pernah menyampaikan bahwa dalam 3-5 tahun ke depan produk vaksinnya akan mulai mendunia.

Padahal untuk membuat vaksin sendiri, Iskandar menilai Indonesia sangat potensial. Beragam jenis virus dan bakteri penyebab penyakit ada di Indonesia, sehingga mudah bagi peneliti untuk menemukan sumber daya maupun bahan baku pembuatan vaksin.

Sayangnya hingga kini masing-masing pihak seolah berjalan sendiri-sendiri. Riset yang dilakukan akademisi di perguruan tinggi lebih berorientasi ke publikasi atau jurnal ilmiah, industri berorientasi ke kebutuhan pasar sedangkan program pemerintah sering tidak sejalan.

"Untuk membuat 1 vaksin, mulai dari tahap isolasi hingga produksi butuh waktu setidaknya 12-15 tahun. Tidak cukup 1 periode pemerintahan dan tidak mungkin terwujud kalau masing-masing berjalan sendiri," ungkap Iskandar dalam pembukaan Forum Riset Vaksin Nasional 2011 di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (26/7/2011).

Senada dengan hal itu, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Pengendalian Risiko, Dr Triono Sundoro, PhD mengatakan kebutuhan vaksin sangat vital dalam memenuhi target Millenium Development Goals (MDGs). Vaksinasi dan imunisasi anak adalah salah satu cara untuk menekan angka kematian bayi.

Namun menurutnya, tantangan dalam mengembangkan vaksin tidak hanya soal biaya. Biasanya, perkembangan riset vaksin seringkali kalah cepat dengan mutasi yang dialami kuman sehingga penemuan vaksin baru tidak mampu mengimbangi munculnya kuman-kuman baru.

Karena itu, butuh inovasi sehingga tidak hanya menggantungkan kebutuhan pada vaksin yang sudah ada. Meski kuman baru selalu ada, namun penelitian-penelitian untuk menemukan vaksin baru juga harus tetap dilakukan dengan memasukkan terobosan-terobosan baru.

"Untuk membuat vaksin, ke depannya kita tidak menggunakan kuman hidup yang dimatikan. Kita pakai virus-like protein, yakni tiruan protein virus sehingga tidak perlu media dari babi misalnya. Selain itu, vaksin semacam ini juga lebih aman," ungkap Dr Triono.

Sementara itu, peran akademisi akan diselaraskan dengan kebutuhan industri dan arah kebijakan pemerintah. Oleh karena itu dalam forum ini, Biofarma menandatangani sejumlah Memorandum of Understanding (MoU) dengan beberapa perguruan tinggi terkait riset vaksin.

Beberapa MoU yang disepakati di Forum Riset Vaksin Nasional 2011 antara lain sebagai berikut.

1. Pengembangan vaksin kontrasepsi pria dengan Universitas Brawijaya, Malang
2. Pengembangan vaksin rabies dengan Universitas Jenderal Achmad Yani
3. Pengembangan vaksin Human Papilloma Virus (HPV) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) berbasis rekayasa genetika dengan Universitas Indonesia.

(up/ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar