Kamis, 16 Februari 2012

Kelangkaan Obat Kemoterapi Ancam Hidup Penderita Kanker

Browser anda tidak mendukung iFrame



ilustrasi (Foto: Thinkstock)
Jakarta, Dalam beberapa bulan terakhir rumah sakit di seluruh dunia mengalami kelangkaan kemoterapi tambahan serta kekurangan obat anti-mual dan obat pendukung untuk perawatan. Termasuk negara sebesar Amerika pun mengalami kelangkaan obat kemoterapi yang mengancam penderita kanker.

Hal ini dialami Rowan Carr yang didiagnosis menderita kanker leukemia dan diberikan obat Methotrexate. Tapi ketika ia sudah mengalami masa remisi, pasokan obat tersebut berkurang karena produksinya dihentikan. Hal ini tentu saja mempengaruhi kondisinya.

Ketika mengalami demam pada tahun 2010, Rowan dibawa orangtuanya ke bagian emergency. Hasil tes darah menunjukkan sel darah dan tromosit yang rendah dan dokter memberitahu orangtua bahwa Rowan menderita leukemia limfatik akut (acute lymphatic leukemia/ALL). ALL biasanya mempengaruhi anak-anak yang berusia antara 2-5 tahun dan bisa menyebar ke lapisan tulang belakang serta otak.

"Pada saat itu ia demam tinggi dan tidak ada gejala lain. Dokter pun melakukan serangkaian tes darah dan mengatakan ia harus dibawa ke rumah sakit anak di Minneapolis," ujar Brenda Carr, ibunda Rowan, seperti dikutip dari Foxnews, Kamis (16/2/2012).

Ketika berada di rumah sakit, Rowan langsung menjalani kemoterapi dengan menggunakan obat methotrexate. Injeksi obat ini langsung ke dalam cairan tulang belakang, dan obat ini telah terbukti dalam berbagai penelitian memiliki hasil yang baik dalam mencegah penyebaran atau kekambuhan ALL.

Sekitar 2 tahun kemudian, kanker dalam tubuh Rowan berada dalam kondisi remisi dan dia berada dalam fase 'perawatan jangka panjang' yang berfokus pada mencegah kekambuhan dengan menyuntikkan methotrexate secara periodik.

Namun laporan terbaru yang muncul adalah pemasok terbesar untuk obat kemoterapi tersebut menghentikan produksinya di Bedford, Ohio pada bulan November 2011. Perusahaan menuturkan manufaktur yang signifikan dan kekhawatiran akan kualitas sebagai alasan penghentian produksi.

"Untungnya Rowan telah mendapatkan suntikan obat ini, tapi dalam waktu 3 bulan ke depan saat ia harus mendapatkan suntikan itu kembali, siapa yang tahu apa yang akan terjadi," ujar Brenda.

Brenda menuturkan pasokan hanya aman hingga 2 minggu dan produsen tidak memiliki lagi setelah itu. Tapi siapa yang tahu mengenai bagaimana hasilnya jika seseorang harus mengganti atau tidak melakukan prosedur pada interval waktu yang tepat. Ia pun khawatir hal ini akan menurunkan tingkat kelangsungan hidup anaknya.

Dr Bruce Bostrom, ahli onkologi anak di Children’s Hospitals and Clinics of Minnesota menuturkan salah satu masalah dari obat ini adalah produsen tidak bisa menambahkan pengawet dalam obat tersbeut. Hal ini karena pengawet yang biasa digunakan bisa menyebabkan masalah neurologis atau kelumpuhan saat disuntikkan ke dalam cairan tulang belakang.

"Sekali botol obat ini dibuka, maka harus digunakan dalam waktu 6-8 jam untuk mencegah kontaminasi. Jika pasiennya anak kecil, maka Anda tidak boleh menggunakan semuanya, tapi Anda tidak bisa menggunakannya kembali jadi harus dibuang," ungkapnya.

Saat ini dengan adanya kemungkinan pasokan methotrexate yang habis dalam waktu cepat, maka rumah sakit tengah berusaha menjadwal ulang pasien untuk menerima pengobatan pada hari yang sama. Meski begitu rumah sakit harus menunda terapi baru atau menggantinya dengan obat lain.

"Kami biasanya memberikannya mulai bulan ke-4 atau 5 dari pengobatan, tapi kadang-kadang kami bisa menundanya dengan diberikan pada bulan ke-7 atau 8 pengobatan," ujar Dr Bostrom.

Ini bukan pertama kalinya rumah sakit mengalami kekurangan obat. Dr Bostrom mengatakan dalam beberapa bulan terakhir rumah sakit di seluruh dunia mengalami kelangkaan kemoterapi tambahan serta kekurangan obat anti-mual dan obat pendukung untuk perawatan.

Brenda menuturkan Rowan pernah mengalami masalah dalam menemukan obat anti-mual, ia harus mencari obat tersebut selama lebih dari seminggu ke berbagai apotek atau toko farmasi.

"Kekurangan obat ini adalah masalah yang tampaknya semakin meningkat selama beberapa tahun. Saat tahun 2001-2002 itu ada sekitar 2-4 obat dalam setahun yang dilaporkan mengalami kekurangan. Tapi sekarang tahun 2010-2011 ada sekitar 22-23 obat," ujar Dr Bostrom.

"Saya benci ketika harus mengandalkan harapan dan tidak adanya kepastian. Saya ingin memastikan semuanya bisa dilakuakn untuk Rowan, tapi saat ini tidak ada jalan yang jelas apakah obat ini masih tersedia atau tidak, dan itu benar-benar membuat aya sedih," ujar Brenda.

Indonesia

Seorang dokter onkologi di rumah sakit kanker di Jakarta mengakui stok obat kanker memang sangat minim karena harus didatangkan dari Singapura. Pasien-pasien kanker leukemia yang sudah bisa melakukan kemoterapi biasanya sudah jauh-jauh hari melakukan pemesanan obat di rumah sakit.

Sering kosongnya obat kanker leukemia itu diduga karena makin meningkatnya jumlah kasus kanker darah ini. Kelangkaan itu terjadi karena berbagai faktor, salah satunya karena leukemia termasuk jenis kanker yang paling banyak ditemukan baik pada anak-anak maupun dewasa. Pada tahun 2010 misalnya, 31 dari sekitar 63 kasus kanker pada anak yang ditangani RS Kanker Dharmais adalah kasus leukemia.

"Memang benar, belakangan ini sering terjadi kelangkaan obat kanker khususnya Arache untuk leukemia," kata dr Mururul Aisyi, SpA dari Staf Medik Fungsional Hematologi-Onkologi Anak RS Kanker Dharmais beberapa waktu lalu.

Menurut dr Mururul, dari tahun ke tahun jumlah kasus leukemia yang ditemukan cenderung terus meningkat. Kebutuhan obat untuk kemoterapi juga makin banyak, khususnya Arache yang dipakai untuk leukemia akut mengingat jenis leukemia ini dianggap paling besar peluang sembuhnya.

(ver/ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar