Rabu, 20 Juni 2012

Bidan Tumpuan untuk Kampanye Program KB

Browser anda tidak mendukung iFrame



Ilustrasi (dok: Thinkstock)
Jakarta, Agar minat untuk ikut Keluarga Berencana (KB) di daerah-daerah pelosok makin tinggi, peran aktif para tenaga kesehatan sangat dibutuhkan. Salah satunya adalah para bidan, yang bisa diberdayakan untuk mendukung kesuksesan program KB.

Pencapaian target kependudukan di daerah pelosok bukan hal yang mudah. Di daerah pelosok yang tidak banyak fasilitas hiburan, bermesraan bersama istri merupakan satu-satunya hiburan yang menyenangkan. Akibatnya, angka kelahiran tinggi. Apalagi jika alat kontrasepsi sulit diperoleh.

Salah satu contoh kasus adalah di Pulau Rote. Pulau yang terkenal dengan sebutan pulau paling selatan di Indonesia ini juga memiliki angka kelahiran yang tinggi. Rata, setiap rumah tangga memiliki 4 orang anak. Sementara alat kontrasepsi jangka pendek seperti kondom, pil, suntik atau implan kurang digemari.

"Dari sekitar 120.000 orang penduduk Rote, sekitar 5000 orang belum memakai alat kontrasepsi sama sekali. Jumlah penduduk yang tertarik ikut KB tapi karena berbagai hal tidak dapat berpartisipasi sekitar 30%. Padahal secara nasional hanya 9%," kata dra Helena Reke, kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana kabupaten Rote Ndao dalam acara Bakti Sosial Pelayanan Keluarga Berencana yang diselenggarakan BKKBN bekerjasama dengan RSPAU Antariksa di Rote Ndao, Rabu (20/6/2012).

Untuk menekan angka ini, selama 2 tahun terakhir, pemda Rote Ndao berupaya keras mengkampanyekan program kependudukan dan keluarga berencana ke masyarakat. Minimnya tenaga penyuluh lapangan membuat pemda memberdayakan segala sumber daya yang ada, yaitu para bidan di daerah.

Upaya ini membuahkan hasil yang cukup signifikan. Sampai saat ini, sudah ada sekitar 600 orang wanita yang mau menjalani metode kontrasepsi jangka panjang atau MOW (Metode Operasi Wanita). Para ibu-ibu peserta MOW ini mengaku diajak oleh para bidan di desanya.

Salah satunya adalah Yoniba (32 tahun) asal Rote Tengah. Ia mengaku diajak oleh bidan di puskesmas kecamatannya untuk mengikuti operasi ini meskipun awalnya takut. Ibu 3 anak ini datang bersama rombongan ibu-ibu lain sekecamatan.

"Saya sedikit takut, tapi semuanya saya serahkan pada yang di atas," tutur Yoniba sebelum menjalni operasi.

Hal serupa diutarakan Santi (28 tahun) asal kecamatan Lobalain. Ibu dari 5 orang anak ini ketika diwawancarai detikHealth masih sedikit menahan sakit usai menjalani operasi MOW. Dia mengaku datang bersama rombongan sekecamatan karena ajakan bidan.

"Saya tahu dari ibu bidan. Tadi sedikit sakit, tapi sekarang sudah boleh makan," kata Santi.

Sebelum menjalani MOW, para ibu peserta KB (akseptor) diminta berpuasa selama 6 jam. Menurut perawat yang menangani para akseptor, kebanyakan ibu yang merasa sakit ini karena berpuasa terlalu lama.

Dari pengamatan di lapangan, para akseptor MOW ini merasa sedikit sakit setelah menjalani operasi dengan pembiusan. Namun selang 5 - 15 menit kemudian, para ibu-ibu ini sudah dapat makan dan menyusui bayi seperti biasa. Setelah menjalani MOW, para akseptor dilarang beraktifitas fisik yang mengeluarkan banyak tenaga selama setidaknya 24 jam.

Menurut Helena, kampanye KB dengan mengajak masyarakat di seluruh kecamatan lebih efektif dibanding pendekatan secara personal sebab para ibu-ibu bisa saling mengajak. Hasilnya, jumlah kepesertaannya juga lebih banyak.


(pah/ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar