Kamis, 07 Juni 2012

1 dari 10 Kasus TBC Tak Bisa Diobati di China

Browser anda tidak mendukung iFrame



(Foto: Thinkstock)
Jakarta, TBC masih menjadi momok di berbagai negara, apalagi dengan karakteristiknya yang mudah menular. Kondisi ini diperparah dengan hasil survei nasional yang dilakukan di China bahwa satu dari 10 kasus tuberkulosis di China tak dapat diobati dengan obat-obatan standar.

"Untuk pertama kalinya, kami memiliki survei nasional terkait masalah ini di China. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini cukup serius," ujar Dr. Daniel Chin, seorang pakar tuberkulosis di Bill & Melinda Gates Foundation di Beijing dan salah satu peneliti studi tersebut. "Satu dari 10 kasus dengan standar apapun secara global tentu hasilnya akan sangat tinggi."

Penyakit paru-paru konvensional disebabkan oleh kuman yang menyebar dari penderita TBC aktif yang batuk-batuk, bersin atau berbicara. Ternyata dalam beberapa tahun terakhir penyakit ini berkembang menjadi dua bentuk yang lebih kuat: resisten terhadap obat TBC sehingga penderita tidak mempan diobati dengan dua jenis obat TBC teratas dan resistensi obat TBC ekstensif yang hampir tidak dapat diobati. Bahkan ada juga resistensi TBC yang secara tidak resmi dijuluki kasus yang 'benar-benar resisten terhadap obat' dan banyak ditemukan di India.

TBC biasanya sembuh dalam waktu 6-9 bulan dengan konsumsi campuran 4 jenis antibiotik, tetapi jika pengobatannya terganggu atau dosisnya dikurangi, bakteri bermutasi menjadi strain yang lebih kuat yang tidak bisa lagi dibunuh oleh obat-obatan standar. Kasus TBC yang resisten terhadap obat sendiri memerlukan waktu hingga dua tahun dan ribuan dolar untuk disembuhkan.

Survei yang dilakukan oleh Chinese Center for Disease Control and Prevention atau CDC China pada tahun 2007 ini juga menunjukkan bahwa 8 persen pasien dengan TBC resisten terhadap obat di China sebenarnya merupakan kasus resistensi obat yang ekstensif. Peneliti mendapatkan angka itu dari pengujian terhadap 4.000 pasien TBC melalui klinik TBC lokal selama lebih dari 9 bulan.

Pada tahun 2007, diperkirakan ada 110.000 kasus resistensi terhadap obat TBC dan 8.200 kasus resistensi obat yang ekstensif sehingga China menjadi negara dengan jumlah kasus resistensi obat tahunan terbesar di dunia, ungkap studi tersebut.

"Ini merupakan situasi yang sangat serius karena kita tidak memiliki obat baru untuk mengobati pasien," kata Dr. Wang Yu, direktur CDC China dan peneliti lain dari studi ini seperti dilansir dari AP, Kamis (7/6/2012). "Masalah ini juga dihadapi di seluruh dunia... dan dari waktu ke waktu, masalah itu akan terus meningkat."

Survei yang dipublikasikan di New England Journal of Medicine tersebut juga menunjukkan bahwa pasien yang dirawat di rumah sakit khusus TBC 13 kali lebih mungkin mengalami resistensi obat daripada pasien yang dirawat di tempat lain. Pasien itu mungkin terinfeksi di rumah sakit atau diberi obat yang salah.

Pemakaian yang berlebihan dan penyalahgunaan antibiotik ini sangat umum di China karena itu merupakan cara yang dilakukan rumah sakit yang kekurangan dana untuk meningkatkan pendapatan melalui penjualan obat.

"Rumah sakit jelas menjadi penyebab utama terjadinya hal ini, bahkan apa yang kita sebut sebagai rumah sakit TBC yang seharusnya dikhususkan untuk pengobatan TBC yang resisten terhadap obat bisa jadi malah berkontribusi terhadap resistensi obat TBC," pungkas Chin yang juga direktur deputi program di Gates Foundation, China.

Tingkat kasus resistensi obat TBC di China memang lebih rendah daripada beberapa negara di Eropa, namun mengingat populasinya yang besar maka jumlah kasusnya pun juga dianggap tinggi, sama halnya dengan di India, ujar Dr. Fabio Scano dari WHO yang tidak terlibat dalam studi ini.


(ir/ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar