Senin, 09 April 2012

Resistensi Obat Korbankan Perlawanan Terhadap Malaria

Browser anda tidak mendukung iFrame



(Foto: thinkstock)
Jakarta, Malaria makin kebal terhadap obat-obatan. Para ilmuwan telah menemukan bukti baru bahwa resistensi terhadap pengobatan pertama untuk malaria meningkat.

Para ilmuwan pun mengkonfirmasi bahwa resisten parasit malaria berada di perbatasan antara Thailand dan Burma, 500 mil (800 km) dari situs sebelumnya.

Peneliti mengatakan bahwa meningkatnya resistensi berarti upaya untuk melenyapkan malaria harus dikompromikan secara serius. Detail penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal kedokteran The Lancet.

Selama bertahun-tahun, obat yang paling efektif menghadapi malaria telah disarikan dari tanaman China, Artemisia annua yang juga dikenal sebagai sweet wormwood.

Pada tahun 2009 peneliti menemukan bahwa spesies parasit malaria yang paling mematikan dan disebarkan oleh nyamuk menjadi lebih resisten pada obat artemisinin di daerah barat Kamboja.

Data baru ini memastikan bahwa parasit Plasmodium falciparum yang menginfeksi pasien berjarak lebih dari 500 mil jauhnya di perbatasan Thailand dan Burma itu pun terus tumbuh menjadi lebih resisten.

Peneliti dari Shoklo Malaria Research Unit mengukur waktu yang dibutuhkan obat artemisinin untuk menghilangkan parasit dari aliran darah terhadap 3.000 pasien lebih antara tahun 2001 dan 2010.

Dari situ peneliti menemukan bahwa artemisinin menjadi kurang efektif dan jumlah pasien yang mengalami resistensi meningkat hingga 20 persen.

Prof. Francois Nosten yang menjadi bagian dari tim peneliti studi terbaru mengatakan bahwa perkembangannya sangat serius.

"Hal ini tentu akan mendorong kompromi terhadap ide melenyapkan malaria, termasuk kemungkinan kebangkitan penyakit malaria di berbagai tempat," katanya seperti dilansir dari BBC Health, Senin (9/4/2012).

Ilmuwan lain yang terlibat dalam studi tersebut adalah Dr. Standwell Nkhoma dari Texas Biomedical Research Institute.

"Penyebaran parasit malaria yang resisten terhadap obat di Asia Tenggara dan sub-Sahara Afrika dimana banyak terjadi kematian akibat malaria, akan menjadi bencana kesehatan publik yang berujung pada jutaan kematian".

Ilmuwan tak dapat mengatakan jika resistensinya telah berpindah karena nyamuk yang membawa parasit resisten telah berpindah ke perbatasan Burma atau karena ini telah muncul secara spontan di dalam populasi daerah tersebut. Peneliti pun menyatakan ini bisa tumbuh menjadi momok terhadap malaria yang tidak dapat diobati.

"Entah resistensinya telah bergerak dan akan terus bergerak dan akhirnya mencapai Afrika atau jika telah muncul dimanapun, kini artemisinin adalah terapi standar di seluruh dunia maka itu berarti penyakitnya bisa muncul dimana saja," kata Prof. Nosten.

"Jika kita kehilangan artemisinin dan tak memiliki obat baru untuk menggantikannya, kita bisa kembali ke masa 15 tahun lalu dimana muncul kasus-kasus penyakit yang sangat sulit diobati karena kurangnya obat yang manjur".

Artemisinin jarang digunakan sendiri, biasanya dikombinasikan dengan obat yang lebih tua untuk membantu melawan tumbuhnya resistensi.

Terapi kombinasi berbasis artemisinin ini sekarang direkomendasikan oleh World Health Organization sebagai pengobatan pertama dan telah berkontribusi terhadap menurunnya kasus malaria di banyak daerah baru-baru ini.

Prof. Nosten berkata bahwa arus penyebaran resistensi bisa saja mirip dengan apa yang terjadi di tahun 1970-an dengan klorokuin, obat yang pernah menjadi pengobatan terdepan melawan malaria.

"Ketika resistensi klorokuin telah mencapai Afrika di pertengahan 1970-an, ini diartikan sebagai peningkatan besar dalam jumlah kasus dan korban anak-anak yang meninggal."

Dalam sebuah tulisan berbeda yang dipublikasikan di jurnal Science, peneliti telah mengidentifikasi wilayah genom parasit malaria yang dikaitkan dengan resistensi artemisinin.

Dr. Tim Anderson dari Texas Biomed yang memimpin studi ini mengatakan bahwa meski pemetaan penyebaran resistensi secara geografis akan sangat menantang namun ini bisa sangat bermanfaat.

"Jika kita bisa mengidentifikasi determinan genetis dari resistensi artemisinin, kita juga seharusnya mampu mengkonfirmasi kasus-kasus resistensi yang potensial dengan lebih cepat. Hal ini juga bisa digunakan untuk membatasi penyebaran resistensi lebih lanjut."

Berdasarkan World Malaria Report 2011, penyakit malaria bertanggung jawab terhadap meninggalnya 655.000 orang selama 2010 --lebih dari 1 satu orang setiap menit. Sebagian besar adalah anak-anak dan wanita hamil.
(ir/ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar