Rabu, 15 Juni 2011

Semangat Bu Aminah dan Nenek Sarinah di Hidup dr Lula Kamal

Your browser does not support iframes.



dr Lula (dok. detikHealth)Jakarta, Pelajaran hidup bisa diperoleh dimana saja. Seperti yang dialami dokter Lula Kamal yang mendapat pelajaran hidup ketika bertemu dengan para 'malaikat' seperti bu Aminah dan nenek Sarinah di puskesmas tempat ia berpraktik.

Puskesmas menurut dr. Lula adalah tempat belajar bagi para dokter yang sesungguhnya. Menurut dr. Lula, rugi jika seorang dokter tidak mau berpraktik di Puskesmas, karena disitulah seorang dokter bisa mendapatkan banyak guru yang memberi pelajaran arti hidup.

Pengalaman itu didapat dr. Lula usai lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti tahun 1995 dan lulus ujian persamaan di Universitas Indonesia tahun 1996. Setelah lulus, dr Lula praktik selama 2 tahun di Puskesmas daerah Senen Jakarta dan menjadi Kepala Puskesmas di Kecamatan Kenari Jakarta Pusat.

Di kedua Puskesmas itulah ia belajar banyak hal, baik dalam menjalani profesinya sebagai dokter maupun menjalani hidup sebagai manusia. Ia mengenal banyak orang dengan berbagai sifat dan karakter.

"Di sinilah aku bisa memperkaya hidupku dengan mengenal sesama, bagaimana menghadapi mereka, berempati dan berbagi kepada mereka, lalu mencoba memberikan apa yang aku bisa untuk mereka. Karena itulah aku begitu mencintai profesiku," kata dr. Lula Kamal, MSc, seperti dikutip dalam buku 'The Doctors' terbitan PT Bhuana Ilmu Populer, Rabu (15/6/2011).

Sebuah pelajaran hidup yang tak pernah ia lupakan didapatkan dari Ibu Aminah yang anaknya pernah menjadi pasiennya. Ibu Aminah datang ke puskemasnya dengan menggendong seorang anak laki-laki bernama Septian (9 tahun).

"Dari kondisi fisiknya aku sudah tahu apa yang dialami bocah itu. Ia memiliki kelainan fisiologis bawaan," jelas dr. Lula.

Bocah tersebut tidak bisa bicara, tidak bisa duduk, apalagi berjalan. Bahkan buang air pun harus dibantu. Kondisinya itu bawaan sejak lahir. Faktor genetis dan tidak bisa disembuhkan lagi. dr. Lula hanya bisa memberinya vitamin dan obat untuk mencegah dia terserang kejang.

Ketika hendak memberikan resep obat untuk anaknya, Bu Aminah menyela dan menyatakan bahwa anak tersebut bukanlah anaknya. dr. Lula berhenti menuliskan resep, lalu menatap ibu itu dan bocah laki-laki tanpa daya yang ada di gendongannya bergantian. Terharu karena dalam kondisi serba kekurangan masih mau merawat anak orang lain terlebih anak itu juga terlahir tidak normal.

Bu Aminah mengatakan bahwa ia dan suaminya yang bekerja sebagai kuli bangunan dengan penghasilan yang tidak tetap dan memungut Septian dari ibu kandung yang membuangnya. Dalam perkembangannya, Septian, yang ternyata mempunyai kelainan genetika sejak lahir, menampakkan ketidaknormalan dalam pertumbuhannya.

Namun, Bu Aminah bertindak melebihi ibu kandungnya. Setiap hari ia menjaga dan merawat Septian seperti anaknya sendiri. Menyuapi makan, memandikan dan menggendongnya kemana-mana. Ketika dr. Lula menanyakan alasan mengapa Bu Aminah memungut Septian, jawabannya sederhana, "Saya kasihan, Bu Dokter," katanya.

dr. Lula mengaku menggeleng-gelengkan kepala mendengar cerita Bu Aminah. Ia bagaikan malaikat. Untuk makan saja sulit, tetapi ia masih mau memberikan tenaga dan materinya untuk sesama.

Bu Aminah dan Septian sering mengunjungi Puskesmas untuk memeriksakan kondisi kesehatan Septian. Tapi dua tahun setelah itu, Bu Aminah mengalami stroke. Dan beberapa bulan setelah itu, Septian meninggal dunia. Setelah dr. Lula tidak lagi praktik di Puskesmas itu, beberapa tahun kemudian ia mendengar kabar bahwa Ibu Aminah juga telah meninggal dunia.

Sejak saat itulah, dr. Lula baru menyadari bahwa Puskesmas adalah tempat belajar para dokter yang sesungguhnya. Selain menimba pengalaman atas apa yang sudah ia pelajari di bangku kuliah, Puskesmas adalah tempat untuk belajar mencari arti hidup. Di situ, dr. Lula merasa ditempa untuk menjadi dewasa, lebih mensyukuri apa yang sudah ia miliki dan lebih mencintai sesama makhluk Tuhan.

"Itulah sebabnya, mengapa, menurutku akan menjadi sebuah kerugian besar bila ada seorang dokter yang tidak mau praktik di Puskesmas. Lebih-lebih, karena di situ kita mendapatkan banyak guru yang memberi kita pelajaran akan arti hidup," tulis dr. Lula.

Pasien dan guru lain dalam hidupnya adalah nenek Sarinah. Saat pertama kali periksa di klinik praktik dr. Lula di daerah Paseban, nenek tua itu langsung minta disuntik.

"Saya hanya tersenyum, sudah terbiasa menghadapi pasien-pasien yang lucu. Tetapi, pasien yang ini sebenarnya tidak lucu. Saya merasa bersimpati denganya. Mungkin dia sudah terbiasa dengan sakit yang dialami dan obat suntik yang diberikan dokternya, sehingga begitu ia merasa penyakitnya kambuh, ia langsung minta disuntik. Namun, setidaknya, perempuan seusianya masih peduli dengan kesehatan. Ini yang patut dicontoh," tutur dr. Lula.

Tapi tiba-tiba nenek itu menarik tangan kanan dr. Lula dan meletakkan sesuatu di telapak tangannya. "Ini bayarannya, Nak Dokter," kata nenek Sarinah.

dr. Lula membuka tangannya dan terlihat uang sepuluh ribu rupiah yang sudah terlipat-lipat menjadi kecil. Ia hanya tersenyum sambil mengamati profil nenek didepannya. Wajah nenek itu sudah dihiasi keriput di sana sini. Bajunya lusuh, hanya mengenakan sandal jepit, itu pun sudah tipis di bagian belakangnya.

Setelah menyuntik si nenek itu, dr. Lula berniat mengembalikan lagi uang pemberiannya. "Rasanya tidak tega meminta uang dari seseorang yang kondisi hidupnya kurang beruntung," tulis dr. Lula.

Namun ternyata nenek itu menolak. Alasannya, uang itu memang sudah ia persiapkan untuk berobat. Jadi, dr. Lula harus menerimanya. dr Lula hanya mengangguk-angguk menghargai sikapnya dengan niat uang itu harus tetap dikembalikan padanya nanti.

dr. Lula mencoba lebih akrab dengan nenek itu, ia menanyakan alamat si nenek. Nenek Sarinah menyebutkan sebuah daerah yang puluhan kilometer jauhnya dari Puskesmas. "Sungguh, sangat bersimpati dengan nenek itu. Menempuh jarak begitu jauh hanya untuk minta disuntik," lanjut dr. Lula.

Saat ditanya ia naik apa untuk sampai ke Puskesmas, si nenek menjawab ia naik angkot dengan pindah-pindah angkot. Dan ternyata nenek Sarinah tidak perlu mengeluarkan biaya apa-apa untuk transportasi dari rumah ke kliniknya. Sebab, sopir dan kernet angkot yang ia tumpangi tidak mau menerima uangnya. Malah, karena jalannya sudah tak bisa lincah lagi, ia selalu mendapat bantuan ketika naik dan turun angkot.

"Tuhan memang Maha Adil. Tak disangka, sopir dan kernet angkot yang seringkali menyebalkan kita ketika di jalanan itu ternyata memiliki jiwa mulia di sisi lain hatinya," jelas dr. Lula.

Bagi dr. Lula, sosok Bu Aminah dan Nek Aminah adalah guru dalam hidupnya. "Belajar tidak hanya dari hal-hal atau orang-orang yang menyenangkan, tetapi bisa juga dari yang sebaliknya," tulis dr. Lula.

dr Lula mengaku tak pernah sekalipun terbersit di benaknya untuk menjadi dokter, karena pelajaran yang ia sukai sejak SD hingga SMA adalah yang berkaitan dengan angka yaitu matematika dan fisika, bukan biologi atau ilmu hafalan lainnya.

"Tak ada di kamus saya cita-cita menjadi seorang dokter. Sejak SD hingga SMA, saya lebih suka mengutak-atik angka dalam pelajaran matematika. Tapi ibu saya sangat ingin saya jadi dokter, alasannya biar ada yang tahu apa yang harus dilakukan ketika ada keluarga yang sakit," ujar dr. Lula saat ditemui dalam acara peluncuran buku 'The Doctor' di Hotel Gran Mahakam, Jakarta belum lama ini.

Namun, setelah lulus SMA ia akhirnya terpaksa menuruti keinginan ibunya untuk masuk sekolah kedokteran. Ia melanjutkan sekolah di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti dan mengabdikan hidupnya di profesi ini.



Biodata

Nama: dr. Lula Kamal, MSc
Tempat dan Tanggal Lahir: Jakarta, 10 April 1970
Status: Menikah dengan Andi Mulyadi Tirtasasmita dengan 3 anak
Pendidikan:
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Bidang Rehabilitas Narkoba dan Adiksi di King's College, London (2004)
Pekerjaan: Dokter, pembawa acara, aktris
Aktivitas lain: Konsultan BNN (Badan Narkotika Nasional).




(mer/ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar