Rabu, 16 Maret 2011

Angka Kelahiran di Yogya Paling Rendah, Maluku Paling Tinggi

Your browser does not support iframes.



(Foto: thinkstock)Bogor, Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi di Indonesia harus segera dikendalikan untuk menghindari ledakan penduduk 50 tahun mendatang. Bila dilihat data antar provinsi, angka kelahiran di DI Yogyakarta paling rendah dan Maluku paling tinggi.

"Tingkat disparitas (perbedaan) TFR (Total Fertility Rate) antar provinsi masih tinggi. Yogya angka kelahirannya paling rendah dan Maluku paling tinggi," jelas Dr Sudibyo Alimoeso, MA, Sestama BKKBN dalam acara Workshop Diseminasi Hasil SDKI 2007 oleh Jurnalis Media Massa Nasional dan Provinsi di Sahira Butik Hotel, Bogor, Kamis (16/3/2011).

TFR (Total Fertility Rate) bisa didefinisikan sebagai jumlah anak yang akan dilahirkan oleh seorang wanita sampai akhir masa reproduksinya jika ia melampau masa-masa melahirkan anak.

Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, maka DI Yogyakarta merupakan provinsi dengan TFR paling rendah dan Maluku provinsi dengan TFR paling tinggi.

Berikut secara lengkap data disparitas TFR berdasarkan data SDKI 2007:

  1. DI Yogyakarta (1,5)
  2. DKI Jakarta (1,8)
  3. Jawa Timur (1,9)
  4. Kalimantan Timur (2,0)
  5. Jawa Tengah (2,1)
  6. Bali (2,1)
  7. Sumatera Selatan (2,3)
  8. Sulawesi Utara (2,3)
  9. Sulawesi Selatan (2,3)
  10. Kalimantan Barat (2,3)
  11. Jawa Barat (2,3)
  12. Gorontalo (2,3)
  13. Bengkulu (2,3)
  14. Lampung (2,4)
  15. Jambi (2,4)
  16. Bangka Belitung (2,4)
  17. Kalimantan Tengah (2,5)
  18. Kalimantan Selatan (2,5)
  19. Banten (2,5)
  20. Riau (2,6)
  21. Kepulauan Seribu (2,6)
  22. NTB (2,7)
  23. NAD (2,8)
  24. Papua (2,9)
  25. Maluku Utara (2,9)
  26. Sumatera Barat (3,0)
  27. Sulawesi Utara (3,0)
  28. Sulawesi Barat (3,1)
  29. Papua Barat (3,2)
  30. Sulawesi Tenggara (3,3)
  31. Sumatera Utara (3,5)
  32. NTT (3,7)
  33. Maluku (3,7)

Rata-rata angka fertilitas total (TFR) adalah 2,3.

"Kalau di daerah-daerah masih banyak yang berpikiran bahwa di wilayahnya kan masih kosong. Tapi kan kita hitung (laju pertumbuhan penduduk) secara nasional. Kalau semua orang berpikiran seperti itu, ya membludaklah jumlah penduduk," jelas Dr Sudibyo.

Selain itu, menurut Zainul Hidayat, Manager Data dan Publikasi Lembaga Demografi Universitas Indonesia, perbedaan angka fertilitas ini tidak hanya dipengaruhi oleh masalah gizi, tetapi juga dipengaruhi oleh nilai sosial dan budaya penduduk setempat.

"Nah, kalau sudah menyangkut budaya, ini harus mengikut sertakan orang-orang yang mengerti budaya setempat juga," jelas Zainul.

Menurut Zainul, data SDKI juga menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka angka TFR juga semakin turun.

"Karena pendidikan melatih orang untuk berpikir logis. Tapi yang saya khawatirkan adalah kalau orang masih memiliki kepahaman banyak anak nggak apa-apa asal bisa ngasih makan dan pendidikan. Kalau seperti ini kan makin kaya dia makin banyak anak. Kan susah juga kita," tambah Zainul.

Sebelumnya, Dr Sugiri Syarief, MPA, Kepala BKKBN dalam sambutan pembukaan Workshop Diseminasi Hasil SDKI 2007 menyampaikan bahwa laju pertumbuhan penduduk berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)  mencapai angka 1,49 persen. Jumlah ini kemudian akan dihitung secara demografi.

"Jumlah penduduk Indonesia akan dobel kalau dibagi laju pertumbuhan penduduk, yaitu 70 dibagi 1,49 persen. Jadi kurang lebih akan doubel sekitar 40-50 tahun ke depan," jelas Dr Sugiri.

Bila jumlah pertumbuhan penduduk tidak diturunkan, maka diprediksi jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2050-2060 mencapai 450 sampai 480 juta.

(mer/ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar