Kamis, 20 Oktober 2011

Wanita Penyandang Cacat Sering Dianggap Makhluk Aseksual

Your browser does not support iframes.




(Foto: thinkstock)
Yogyakarta, Disabilitas atau kecacatan seringkali membuat penyandang cacat terutama wanita mengalami diskriminasi seksual dan reproduksi. Wanita dengan disabilitas sering dianggap makhluk yang aseksual dan tidak menarik.

Orang dengan disabilitas atau kecacatan umumnya menempati posisi marjinal dalam masyarakat, termasuk pengakuan dan disposisi seksual.

Pemahaman ini berasal dari representasi kultural, mitos dan diskriminasi stigma yang mempengaruhi pengalaman seksual pada orang dengan disabilitas.

"Representasi sosial menganggap orang dengan disabilitas adalah makhluk abnormal, seperti anak-anak, membahayakan, aneh, tidak menarik, tidak mandiri, selalu membutuhkan perlindungan, tidak produktif, anti sosial dan memiliki kesehatan yang buruk," jelas Penchan Sherer, PhD, dari Department of Society and Health Faculty of Social Sciences and Humanities Mahidol University, Thailand dalam acara The 6th Asia Pacific Conference on Reproductive and Sexual Health and Right di Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta, Kamis (20/10/2011).

Sedangkan mainstream umum dari seksualitas yang beredar di masyarakat adalah:

  1. Seks untuk tubuh dewasa dan mampu (able body)
  2. Seks untuk hubungan seks dan orgasme
  3. Seks untuk reproduksi

"Masyarakat sosial merepresentasikan orang dengan disabilitas itu sebagai makhluk sexless, aseksual, tidak menarik secara seksual, tidak bisa melakukan aktivitas seksual, asexual monster, tidak bisa mengontrol dorongan seks dan perasaan serta tidak bisa bertanggungjawab bila memiliki anak," lanjut Penchan.

Wanita disabilitas umumnya menghadapi dua kali lipat stigmanisasi, yaitu sebagai wanita dan sebagai orang dengan disabilitas.

Selain itu, wanita dengan disabilitas memiliki kecenderungan lebih besar memiliki pasangan yang juga disabilitas dibandingkan pria.

"Wanita yang menikah dengan pasangan yang normal (bukan disabilitas) cenderung lebih menerima suaminya melakukan banyak affair. Mereka berpikir itu adalah bentuk penghormatan karena mereka tidak bisa secara penuh memuaskan suaminya karena cacat," lanjut Penchan.

Padahal wanita disabilitas pun memiliki hak seksual dan reproduksi yang sama. Mereka juga mampu menjadi ibu yang baik.

Menurut studi yang dilakukan Penchan, wanita dengan disabilitas memiliki arti keibuan yang sama dengan wanita normal.

"Mereka bisa memenuhi peran dan kewajiban seorang ibu, menciptakan kehidupan, mampu memberi perhatian. Arti ini sama berartinya dengan yang diberikan oleh wanita normal," jelas Penchan.

Menurut Penchan, politik tubuh dan mitos seksual semakin membuat orang dengan disabilitas mengalami diskriminasi masalah kesehatan seksual dan reproduksi.

"Pemerintah dan sistem pelayanan masyakarat harus memahami wanita dengan disabilitas, kebutuhannya terutama kesehatan seksual dan reproduksi yang sedikit berbeda dari orang normal. Selain itu, sebaiknya dikembangkan pengetahuan seksual bagi para penyandang cacat," tutup Penchan.



(mer/ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar