Kamis, 20 Januari 2011

Berobat Sampai ke Luar Negeri, Sembuhnya dengan Dokter Lokal

Your browser does not support iframes.



Nidjat Ibrahim (Merry-detikHealth)Jakarta, Siapa bilang pengobatan di luar negeri selalu lebih baik? Seorang dosen yang sudah berobat bolak balik luar negeri justru menemukan dokter dan pengobatan terbaik untuk cangkok hatinya ada di Indonesia.

Orang tersebut adalah Nidjat Ibrahim, dosen wanita yang mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti sejak 30 tahun lalu.

Nidjat yang lahir di Solo 64 tahun lalu merupakan pasien kedua dalam proyek terbesar yang melakukan transplantasi atau cangkok hati di RS Puri Indah, Kembangan, Jakarta, pada 17 Desember 2010. Operasi tersebut memakan waktu sekitar 13 jam.

Nidjat mengetahui bahwa dirinya menderita sirosis (pengerasan hati) pada tahun 2001, tapi ia sama sekali tidak merasakan keluhan apa-apa karena sangat gila kerja (workaholic).

"Saya masih menjabat sebagai dosen di Fakultas Ekonomi Trisakti, saya masih ke luar negeri sendiri. Saya tidak merasakan sama sekali sampai tahun 2008 kok makan ini nggak doyan itu nggak doyan. Mulai ada yang dirasakan," jelas Nidjat saat ditemui dalam acara Temu Pasien Transplantasi Hati di RS Puri Indah, Kembangan, Jakarta Barat, Kamis (20/1/2011).

Nidjat mengaku sudah bolak balik ke luar negeri untuk mencari penyebab dan pengobatan terbaik yang bisa menyembuhkan penyakitnya.

"Saya sudah ke Singapura, Penang dan bahkan pengobatan alternatif terapi organik di Purwakarta. Saya sudah coba semua alternatif pengobatan, bahkan di Singapura sampai 3 rumah sakit terus ke Penang. Saya sudah hand up," lanjut dosen yang lahir tanggal 24 Mei 1946 ini.

Nidjat tidak mengetahui penyebab pasti penyakitnya. Hingga 3 kali ke Singapura pun tidak ditemukan penyebab pasti penyakit yang menggerogoti hatinya.

"Tahun 2002 saya ke Singapura, tapi tidak ditemukan penyebab, 2004 ke Singapura lagi juga tidak ditemukan penyebab, terus kesana lagi tahun 2007. Akhirnya dikasih tahu di Penang, divonis harus transplan. Katanya yang murah di Penang, tapi disana nggak ada fasilitas untuk transplan. Kalau di  Singapura biayanya sampai Rp 3-4 miliar," kenang Nidjat yang tumbuh besar di Tegal, Jawa Tengah.

Menurutnya, ia sudah berencana untuk menjual rumah untuk biaya pengobatannya. Tapi mempertimbangkan biaya perawatan pasca operasi yang sangat 'gila', ia mengurungkan niatnya dan mengaku pasrah.

"Di tengah-tengah kegamangan saya, kebetulan kemenakan (ponakan) saya yang juga di Trisakti mengenalkan saya pada Dr Thjang. Kita ngobrol-ngobrol dan saya ditawari (operasi transplantasi hati), saya mau banget," jelas Nidjat.

Ia mengaku bagai mendapatkan mukjizat dari Tuhan, karena saat itu ia sudah bingung, tidak tahu mau kemana lagi dan juga pasrah.

"Karena kalau tidak transplan saya akan tergeletak terus. Jadi saya putuskan saya tetap akan operasi, apapun risikonya," pungkas Nidjat.

Menurut putranya, keadaan Nidjat mulai drop tanggal 5 Maret 2010. Tapi baru bertemu dengan Dr Thjang Supardjo, MD,MSurg,FCCS, ahli bedah di bidang hepato-pancreo-bilier di RS Puri Indah, pada bulan September 2010.

"Mulai ke Puri Indah ya memang Allah yang menunjukkan, saya sudah bingung mau kemana mau kemana," jelasnya.

Menurut Dr Thjang, Nidjat menderita sirosis tahap lanjut ditambah dengan hepatoma (kanker hati). Tiga tahun sebelumnya, Nidjat pernah menjalani intervention treatment (memasukkan obat ke dalam tumor untuk memblokir perkembangan tumor).

"Waktu sirosisnya belum berat sudah diintervensi, sehingga terlokalisir, tidak berkembang dan tidak aktif. Tapi sirosis ibu Nidjat sudah berat sekali. Sudah benjol-benjol, fungsinya sudah jelek, badannya bengkak, terbaring di tempat tidur, sama sekali tidak bisa apa-apa. Beberapa kali mengalami penurunan kesadaran sampai prekoma," jelas Dr Thjang yang disumpah dokter sejak tahun 2008.

Di Indonesia, kebanyakan kasus sirosis diawali dengan penyakit hepatitis B atau C. Tapi Nidjat dinyatakan hepatitis negatif. Kemungkinan penyebab penyakit yang menyerang organ hatinya adalah sistem imun tubuhnya sejak lahir dan dipicu oleh obat-obatan yang diminumnya sejak lama karena menderita saraf kejepit sejak tahun 1992.

Nidjatnya akhirnya menjalani operasi transplantasi hati yang termasuk pertama dilakukan di Indonesia, pada 17 Desember 2010 di RS Puri Indah.

Tim dokter transplantasi hati RS Puri Indah yang dipimpin oleh Dr Hermansyur Kartowisastro, Sp.B.(KBD) dengan asisten Dr Tjhang Supardjo yang telah menempuh pendidikan dibidang hepato-pancreo-bilier dan menjadi murid Prof. Zheng Shu-sen, MD, PhD, FACS di Zhejiang Hospital, China lebih dari 4 tahun.

Operasi transplantasi hati ini pertama kali di Indonesia ini dilakukan oleh Tim Transplantasi Hati yang dipimpin oleh Prof. Zheng Shu-sen, MD, PhD, FACS dari The First Affiliated Hospital Zhejiang University, China bersama tim dokter dan perawat Indonesia.

Operasi ini merupakan realisasi dari kerjasama yang dibuat bersama antara RS Puri Indah, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Cipto Mangunkusumo dengan The First Affiliated Hospital of Zhejiang University, China.

"Operasi ini memang cukup mahal, hampir Rp 1 miliar untuk biaya operasi dan perawatan sebelum sesudah di rumah sakit kurang lebih selama sebulan. Tapi itu 30 persen dari harga di Singapura," jelas Dr Yanuar Hadiyanto, CEO RS Puri Indah.

Sebulan lebih pasca menjalani operasi transplantasi hati, kondisi Nidjat sudah kembali putih dan tampak sangat baik.

"Ibu Nidjat yang sekarang bukan ibu Nidjat dulu sakit nggak bisa apa-apa. Ibu Nidjat sudah kembali sembuh," kata Nidjat.

Menurut Dr Thjang, kondisi Nidjat sudah 100 persen sehat. Jika dilakukan check up, maka kondisinya 100 persen normal termasuk keadaan hatinya.

Dr Hermansyur menjelaskan, transplantasi hati tidak sama dengan transplantasi organ lain yang diambil secara keseluruhan.

"Organ hati yang ditransplan hanya sebagian, jadi tidak semuanya. Organ hati yang didonorkan kemudian akan bisa beregenerasi seperti keadaan semula dalam waktu 3-6 bulan, jadi memungkinkan untuk dilakukan dengan living donor (donor hidup)," jelas Dr Hermansyur.

Dalam waktu 2 minggu hati akan beregenerasi sebesar 60 persen, 1 bulan sebesar 80 persen dan 3 sampai 6 bulan sudah bisa 100 persen.

"Donornya tidak mau diekspos dan sekarang dalam keadaan sehat. Itu prinsip utama kita, apapun yang terjadi donor harus selamat. Kita tidak mau mengorbankan orang yang sehat," jelas Dr Hermansyur yang juga pernah menjabat sebagai Direktur RSCM pada tahun 1997.
(mer/ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar