
Menkes (dok. detikfoto)
Kisah itu terjadi 16 tahun lalu saat pertama kali Endang Sedyaningsih,-- yang 14 tahun kemudian akhirnya menjadi Menteri Kesehatan Indonesia,-- mendatangi tempat pelacuran Kramat Tunggak di Jakarta Utara.
Saat itu Endang keluar mobil dan memberikan senyum ke semua orang yang menonton dan dengan suara jernih dan terang dia mengaku sebagai petugas kesehatan. Menurutnya di tempat yang keras orang tidak boleh menunjukkan kelemahannya agar tidak kehilangan wibawa.
Terbukti dengan aktingnya yang tenang dan berwibawa, seorang germo mau menolongnya agar ban mobilnya ke luar dari lubang becek.
Itu adalah sekelumit cerita yang tercecer saat ia harus melakukan penelitian soal 'Perempuan-perempuan Kramat Tunggak yang rentan terkena HIV AIDS'. Penelitian itu untuk pembuktian apakah ia mampu meraih gelar Doktor Kesehatan Masyarakat di Harvard University, USA tahun 1997,
Untuk menyelesaikan disertasinya, ia berfokus pada perilaku seksual orang-orang yang berisiko tinggi. Disertasinya pun kini sudah dibukukan menjadi 'Perempuan-perempuan Kramat Tunggak' terbitan Kepustakaan Populer Gramedia pada Desember 2010.
Di dalam buku tersebut, tak lupa ia menyelipkan pengalamannya bersahabat dengan pelacur dan bermalam di bordil-bordil komplek pelacuran Kramat Tunggak, yang sekarang sudah resmi ditutup oleh Pemerintah DKI dan kini menjadi Jakarta Islamic Center.
Adalah Alia, seorang pelacur dan juga sahabat Endang di Kramat Tunggak. Hubungannya dengan Alia terbilang unik dan bermula dari pertemuan di pos kesehatan.
Alia bertubuh besar dan tegap, kulitnya gelap, rambutnya sebahu dikeriting kecil-kecil ujungnya, sehingga tampak mengembang seperti kipas. Sikapnya diam, tenang dan sangar. Kedua lengannya tampak penuh bekas luka-luka iris yang sudah memarut, diduga ia adalah seorang pecandu obat bius.
Alia datang menemuinya di pos kesehatan karena memerlukan pengobatan yang tidak bisa Endang lakukan sendiri. Endang pun membawanya ke rumah sakit terdekat. Sikap Alia yang semula diam, mulai melunak setelah sering ditemani berobat oleh Endang. Semakin dekat, Alia pun sering mengajak Endang mampir ke bordilnya.
Endang berulang kali main ke bordil Alia. Tiap kali, ada saja teman-teman yang dibawanya untuk mengobrol bersama-sama. Sering pula ia mengajak Endang ke bordil-bordil lain atau memperkenalkan Endang dengan germo-germo tetangga. Alia pun tak segan-segan menunggu Endang dengan setia saat melakukan wawancara para pekerja seks di tempat itu.
Penerimaan yang tulus membuat Endang merasa nyaman. Sering bila Endang merasa lelah berhadapan dengan cerita-cerita yang menyesakkan dada, ia singgah dulu ke kamar Alia. Alia selalu senang melihat Endang.
Saat harus menginap di satu bordil, Alia pun mengantarkan Endang. Adanya Alia membuat hati Endang merasa lebih tenteram. Tapi Alia sering juga tak bisa menemani Endang karena harus mencari nafkah.
Suatu hari, saat makan di satu warung kecil dan kumuh di Kramat Tunggak, Alia pun tampak senang bisa mentraktir Endang.
Biasanya banyak orang yang tidak sudi makan di Kramat Tunggak, apalagi dibayari germo atau pelacur. Banyak yang menganggap itu makanan haram dan uang haram. Tapi Endang mengaku tidak ahli dalam hal demikian. Ia melihat itu hanyalah suatu pemberian yang tulus, yang ia terima dari seorang sahabat dengan janji akan membalasnya pada lain kesempatan.
Alia dulu sering minum obat terlarang. Ia pernah minum Mogadon sekaligus enam butir, pernah juga pil BK 24 butir ditambah bir. Bahkan ia kuat minum ginseng dan alkohol. Tapi sekarang ia tidak minum lagi.
Alia pun tak segan berkelahi. Yang lebih parah lagi, Alia juga suka menyilet tubuhnya sendiri, terutama di lengan bawah atau di paha. Bahkan dalam masa berteman dengan Endang, sering terlihat luka-luka segar berbubukan sulfa di lengannya. Bila ditanya, ia selalu menghindar dan hanya tersenyum malu-malu.
"Kami berdua bagaikan dua kapal yang berpapasan di malam kelam. Kami akrab, namun saya yakin ia tidak akan senang bila saya terlalu bawel mencampuri urusannya," tulis Endang dalam bukunya 'Perempuan-perempuan Kramat Tunggak' terbitan Kepustakaan Populer Gramedia, seperti dilansir Rabu (2/5/2012).
Beberapa waktu sebelum harus kembali ke Amerika, Endang sempat mengunjungi Alia untuk terakhir kalinya. Ia memberikan foto diri lengkap dengan bingkai dan gantungan kunci dari sekolah tempat ia belajar, sebagai kenang-kenangan.
Mata Alia langsung berkaca-kaca. Ia tampak sedih sekali akan berpisah. Dengan wajah menyesal, Alia mengatakan bahwa ia tak punya apa-apa untuk diberikan kepada Endang.
"Sungguh ia tidak sadar bahwa apa yang telah diperbuatnya selama ini merupakan kenang-kenangan yang tak ternilai. Namun demikian, saya hanya berkata bahwa saya akan senang bila ia memberikan saya foto dirinya. Wajahnya segera berbinar," lanjut Endang.
Mereka berpelukan sejenak dan segera berpisah. Dua kapal itu pun kembali mencari arah masing-masing di kehidupan.
Alia sempat menelepon Endang dan mengatakan akan insaf. Sebelum pulang ke kampung halamannya di Jawa Tengah, Alia pun diminta untuk main ke rumah Endang. Namun Alia tak pernah datang. Surat yang diminta Endang pun tidak pernah sampai di tangannya.
Tahun berikutnya, setelah kembali dari Amerika, Endang mencoba mencari Alia di Kramat Tunggak.
"Tidak ada nama Alia. Benarkah ia sudah berada di kampungnya lagi? Atau pindah ke lokasi pelacuran di kota lain? Ataukah tetap di Kramat Tunggak dengan nama lain? Mungkin saya tidak akan pernah tahu jawabnya," tutup Endang.
(mer/ir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar