Jumat, 04 Mei 2012

Malam Terhening dalam Hidup Almarhumah Endang Sedyaningsih

Browser anda tidak mendukung iFrame



Alm Endang (dok. detikHealth)
Jakarta, Karena ingin memberi contoh kepada menteri-menteri yang lain, mantan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih melakukan check up kesehatan satu tahun setelah dilantik menjadi Menkes pada Oktober 2010.

Namun hasil check up itu mengubah hidup Endang dalam waktu cepat yang tak pernah ia duga sebelumnya. Dan hanya 1,5 tahun setelah keluar hasil check up yang menemukan ia terkena kanker paru stadium 4, Endang menghembuskan napas terakhir pada 2 Mei 2012.

Setelah melakukan check up di 2010, Endang tak langsung diberitahu hasilnya karena menurut dokter di RSPAD hasilnya akan dirapatkan dulu.

Baru pada malam 22 Oktober 2010, rombongan tim RSPAD berkunjung ke kediamannya di Duren Sawit Jakarta Timur.

"Secara perlahan para dokter menjelaskan bahwa mereka menemukan suatu massa di paru-paru kiri belakang. Saya diminta untuk melanjutkan pemeriksaan.

Pada pemeriksaan selanjutnya ternyata saya didiagnosis Adenocarcinoma yang sudah memasuki stadium 4. Regimen terapi pun dibahas dan cukup banyak tindakan yang akan dilakukan, yang cukup berat efek sampingnya".

Hal itu diungkapkan Endang dalam bukunya 'Untaian Garnet dalam Hidupku' yang ia tulis saat dirawat di RSCM Jakarta beberapa hari sebelum ia menutup mata seperti dikutip detikHealth, Jumat (4/5/2012).

Mendengar penjelasan itu, sang suami Dr. Reanny Mamahit dan dirinya tidak banyak berkomentar, hanya saja ia banyak bertanya untuk mendapatkan penjelasan.

"Ketika para tamu telah pulang, hanya tinggal kami berdua, saya dan Renny. Tanpa sanggup ditahan lagi saya menangis sedih. Bendungan air mata yang semenjak tadi coba dibangun tak sanggup lagi menahan bebannya.

Kabar itu telah meruntuhkan semangat hidup saya, paling tidak untuk saat itu. Tangisan saya adalah tangis kesedihan atas penderitaan yang datang begitu tiba-tiba.

Renny memeluk saya, sekaligus menghibur dan menguatkan agar saya terus berusaha, bersemangat demi kesembuhan.

Malam itu adalah malam paling hening yang saya rasakan. Hanya terdengar isak tangis seakan tak berkeputusan".

Malam semakin larut, Endang kedatangan tamu lagi. Tamu itu adalah para dokter. Kali ini tim dokter kepresidenan (TDK) yang menganjurkan Endang untuk mencoba regimen baru yang kemungkinan inkonvensional, di Rumah Sakit Fuda di Guangzhou, China.

Target pengobatan itu bukanlah untuk memperpanjang lamanya hidup, akan tetapi memperbaiki kualitas hidup penderita selama ia hidup.

Endang langsung tertarik dan memutuskan untuk mencobanya, walaupun mungkin tidak sejalan dengan pendapat para profesor, guru-guru Endang.

Beberapa hari kemudian Endang pun berangkat ke RS Fuda, Guangzhou, China untuk memulai pengobatan itu. Setitik pengharapan ia tebarkan dalam luasnya kesempatan dalam kehidupan.

Saat pertama kali ia melihat rumah sakit tersebut, ia sangat terkejut karena bentuknya mirip ruko, rumah toko. Saat itu ia disambut penerjemah yang mampu berbahasa Indonesia. Para profesornya pun menyambut Menkes. Walau rumah sakitnya sangat sederhana, nyatanya layanannya profesional. Perawat-perawatnya pun sangat kompeten.

Regimen Endang dimulai dengan pembekuan tumor paru (cryo surgery). Beberapa hari kemudian, metastasis tumor di kelenjar getah bening di atas selangka pun dioperasi. Ia lagi-lagi dibius.

Menurut Endang, melewati hari-hari pasca pembiusan sungguh sulit, karena rasa sakit itu masih ada. Termasuk sukar buang air kecil. Tetapi ia mampu bangun dan pulang dengan pesawat.

Lama perjalanan Guangzhou ke Jakarta mengambil tempo 4,5 jam. Endang mengaku jarak tempuh itu terasa kian lama, dalam kondisi kesehatan yang tak sempurna. Namun ia tetap bertahan.

Di antara waktu-waktu terapi ke Guangzhou, Endang tetap harus meminum obat kanker. Juga mendapat suntikan imuno terapi, serta menjalani berbagai pemeriksaan, termasuk terapi lain di Jakarta, seperti di RSPAD, RS Gading Pluit dan TACHE.

Beberapa bulan kemudian Endang harus kembali ke RS Fuda untuk mendapatkan terapi lain, yaitu penanaman seed yodium di beberapa tempat yang mempunyai metastasis kanker. Suatu saat seed yang ditanamkan begitu banyaknya, sehingga saat proses dilakukan ia terbangun.

"Tanpa bisa ditahan saya menjerit-jerit kesakitan, meminta morfin karena sakitnya begitu dahsyat," aku Endang.

Secara umum, pengobatan yang dilakukan Endang berlangsung sangat baik, membuatnya tetap mampu menjalankan fungsi sebagai seorang Menteri Kesehatan RI, selama 1,5 tahun. Tanpa orang lain bisa melihat bahwa ia adalah seorang survivor kanker paru.

Waktu terus berlalu, awal April 2012 Endang harus dirawat di RSCM karena merasakan keluhan nyeri di tubuhnya.

Diakui Endang ketika di rawat di RSCM, semua kenangan muncul seperti lorong waktu di mana ia bisa mengingat kembali semua sahabat, teman dan kejadian.

Karena ingin meninggalkan jejak hidupnya itu, Endang terus menulis hingga akhir ajalnya, termasuk pengakuannya bahwa ia pernah merasakan malam paling hening dalam hidupnya saat divonis kanker paru.



(mer/ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar