
Alm Endang (dok. detikHealth)
Endang terlihat sadar bahwa tulisannya yang termuat dalam buku 'Untaian Garnet dalam Hidupku' ini akan dibaca publik ketika dirinya sudah tiada.
Dalam bukunya yang lebih mirip seperti diary ini dia mengakui buku ini akan menjadi jejak hidupnya yang akan dibaca anak cucunya.
Dalam sebuah bab dia mengakui bagaimana hidupnya begitu terpuruk saat harus menjadi pesakitan yang begitu tak berdaya hingga untuk buang air besar dan buang air kecil pun harus dibantu orang.
"Saya harus memakai pispot di tempat tidur, dibantu oleh perawat atau Renny (suaminya). Ketidakmampuan membersihkan diri sendiri sehingga kotoran berbelepotan, sungguh-sungguh sangat menurunkan kepercayaan diri saya.
Menurut saya hal yang terpenting bagi manusia adalah kemampuannya mengurus dirinya sendiri. Contohnya pasien-pasien dengan autisme atau MR, pertama kali yang dilatih adalah kemampuan ini.
Maka dapat dibayangkan betapa saya merasa sangat terpukul karena tidak sanggup membersihkan diri sendiri, baik ketika buang hajat besar dan kecil, walaupun beberapa dokter mengatakan bahwa ini hanya satu episode saja yang akan berlalu sebagai efek samping radiasi yang cukup berat. Namun, tetap saja hal ini mengganggu.
Psikiater saya menanyakan apakah saya menganggap orang yang bed ridden adalah orang yang tidak punya harkat? Saya tidak mampu langsung menjawab, karena sebetulnya penilaian itu adalah untuk diri saya sendiri, bukan untuk orang lain".
Endang juga mengakui hal yang paling membuatnya depresi saat tak bisa apa-apa di tempat tidur adalah saat melihat suaminya.
Setiap malam, sang suami (Dr. Reanny Mamahit, SpOG, MM, Direktur RSUD Tangerang) datang dari tempat kerjanya di RSUD Tangerang, lalu menginap di rumah sakit, menemani Endang sepanjang malam.
"Hanya dialah yang selalu saya pikirkan, sebab saya khawatir ia mengharapkan selalu disambut oleh istri yang cantik, sehat dan segar. Semua itu tidak lagi saya miliki saat ini. Renny kerap meyakinkan saya bahwa semua itu tidak benar dan tidak perlu dipikirkan. Saya pun berusaha untuk mempercayai perkataannya. Namun, saya yakin dan mengerti tidaklah mudah memiliki seorang istri yang 'kecepatannya (pace)' boleh secara natural lebih cepat daripada sang suami tercinta".
Endang juga menuliskan masa-masa yang dianggapnya paling menyakitkan, malam di mana ia merasa depresi dan ingin menghentikan pengobatan.
Anak-anaknya dari Bandung sudah datang, bahkan putra keduanya Awandha Raspati Mamahit pun diminta pulang ke Jakarta dari tempat kuliahnya di Jenewa, Swiss.
"Semalaman saya marah-marah kepada Renny dan anak-anak, menuduh mereka tidak cukup punya belas kasihan kepada istri dan ibunya. Saya juga berusaha meyakinkan direktur rumah sakit bahwa upaya yang mereka lakukan sudah cukup dan saya tidak bersedia melanjutkannya lagi. Apalagi sebenarnya rencananya hari ini adalah dilakukan MRI kepala, suatu tindakan yang tidak menyenangkan. Semalaman itu pula saya diare dan saya BAB dan BAK di tempat tidur saja, suatu keadaan yang sangat melemahkan mental saya.
Alhamdulillah di pagi harinya, ketika saya bangun tidur dan melihat sinar matahari di luar jendela, saya kembali dapat bersyukur bahwa saya masih diberi kesempatan menikmati sinar matahari.
Saya juga percaya pada komentar sahabat kami dokter Barlian yang mengatakan bahwa keadaan depresi ini merupakan suatu episode saja yang lazim terjadi baik pada pasien kemo maupun pada pasien radioterapi. Saya berpegang pada perkataannya tersebut dan setiap saat beranggapan bahwa mungkin inilah saatnya saya bangkit kembali".
Pengakuan jujur Endang ini boleh jadi adalah pengakuan jujur hampir semua manusia saat mengalami kondisi di titik nadir dalam hidupnya.
Setegar-tegarnya mantan orang nomor satu di Kementerian Kesehatan ini, ada masa di mana ia benar-benar terpuruk. Namun ia mampu bangkit dan bersikap realistis, hingga tak mau menyia-nyiakan waktu di saat-saat terakhir hidupnya dengan terus menulis.
(mer/ir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar