Senin, 30 Januari 2012

Vaksin Jadi Tidak Manjur Jika Anak Terpapar Bahan Kimia PFC

Your browser does not support iframes.




(Foto: thinkstock)
Jakarta, Senyawa kimia perfluorinated compound (PFC) banyak digunakan dalam perlengkapan sehari-hari seperti kantong pembungkus makanan, karpet hingga peralatan masak antilengket. Paparan senyawa kimia ini bisa berakibat anak yang divaksin jadi tidak kebal.

Dalam sebuah penelitian yang dimuat Journal of American Medical Association, peneliti menemukan bahwa makin tinggi kadar PFC dalam darah, makin sedikit antibodi yang diproduksi tubuh setelah anak-anak diberi vaksin difteri dan tetanus.

Anak-anak yang lebih banyak terpapar PFC juga memiliki kadar antibodi yang rendah sehingga tidak dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit-penyakit menular.

"Paparan PFC menyebabkan sistem kekebalan tubuh anak-anak lebih lemah ketika divaksinasi. Selain membuat antibodi tidak bekerja, tubuh juga akan menghasilkan sedikit antibodi," kata peneliti, Philippe Grandjean MD, profesor kesehatan lingkungan di Harvard School of Public Health di Boston  seperti dilansir Health.com, Senin (30/1/2012).

Jumlah antibodi yang dihasilkan oleh vaksin merupakan indikasi fungsi sistem kekebalan tubuh yang baik. Temuan ini menunjukkan bahwa PFC memiliki efek negatif pada sistem kekebalan tubuh, bahkan melampaui efek dari vaksin.

Meskipun belum dapat mengidentifikasi bagaimana PFC dapat memasuki tubuh, para ahli menduga makanan, air minum dan produk yang terkontaminasi bahan kimia bisa menjadi sumber utama paparan PFC. Penelitian pada hewan telah menemukan kaitan antara paparan PFC dengan perubahan fungsi kekebalan tubuh.

Untuk menentukan apakah bahan kimia dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh manusia, Grandjean dan timnya mengambil sampel darah dari 587 orang wanita hamil pada tahun 1999 hingga 2001.

Peneliti kemudian menguji sampel atas keberadaan lima jenis PFC yang paling umum ditemui. Ketika anak-anak yang dilahirkan mencapai usia 5 tahun, peneliti mengulangi proses yang sama dengan menggunakan sampel darah dari anak-anak.

Semua anak-anak dan ibu dalam penelitian ini tinggal di Kepulauan Faroe yang terletak antara Islandia dan Skotlandia. Kepulauan Faroe memiliki banyak sumber makanan yang terkontaminasi PFC dan memakan daging ikan paus dari perairan yang tercemar. Rata-rata kadar PFC dalam darah anak-anak Faroe sebanding dengan kadar PFC pada anak-anak Amerika.

Para peneliti juga mengukur kadar antibodi difteri dan tetanus dalam darah anak-anak sebanyak dua kali. Pertama pada usia 5 tahun setelah anak-anak telah diberi tiga dosis vaksin tetanus dan, yang kedua adalah dua tahun berikutnya ketika anak-anak disuntik penguat vaksin.

Tingginya paparan PFC sebelum kelahiran berkaitan dengan menurunnya jumlah antibodi pada usia 5 tahun. Anak-anak yang darahnya menunjukkan banyak paparan PFC pada usia 5 tahun memiliki antibodi yang lebih sedikit ketika usianya 7 tahun. Paparan PFC pada usia 5 tahun yang meningkat dua kali lipat diperkirakan mengurangi setengah dari jumlah antibodi ketika menginjak usia 7 tahun.

"Jika anak yang divaksinasi termasuk dalam anak-anak yang terkena PFC sehingga tidak merespon terhadap vaksin, maka kemungkinan epidemi bisa jadi lebih tinggi daripada tingkat vaksinasinya," kata Grandjean.

Margie Peden-Adams, PhD, ahli penelitian toksikologi di University of Nevada, Las Vegas, mengatakan bahwa tidak mungkin sepenuhnya menghindari PFC karena bahan ini meresap dalam lingkungan. Produk bebas PFC memang ada, namun cenderung mahal dan sulit dicari.

Anak-anak maupun orang dewasa bisa terpapar PFC dalam makanannya melalui wadah makanan. Sayangnya, berapa jumlah pastinya kadar PFC yang bisa tercampur dalam makanan masih belum jelas.
(pah/ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar