Selasa, 27 Desember 2011

September: Jangan Lagi Panggil Pasien Jiwa 'Orang Gila'

Your browser does not support iframes.




(Foto: thinkstock)
Jakarta, Sebutan 'orang gila' sering disalahgunakan dan justru sering dipakai sebagai guyonan di masyarakat. Pada September 2011 dalam rangka memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia, Kementerian Kesehatan pun menegaskan bahwa sebutan 'orang gila' sudah tidak boleh lagi digunakan.

Sebutan orang gila, sinting, sableng atau sarap seringkali digunakan sebagai guyonan di masyarakat. Agar tidak menyudutkan pasien-pasien gangguan jiwa, maka sebutan 'orang gila' tidak lagi digunakan untuk pasien gangguan jiwa

Istilah yang sudah diakui dan disepakati oleh kelompok profesi dan LSM adalah Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGM) dan Orang Dengan Skizofrenia (ODS).

Menurut dr G Pandu Setiawan, SpKJ, Ketua Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa (Jejak Jiwa), ODMK juga memiliki hak yang sama dengan orang yang sakit lainnya. Selain sering mendapatkan stigma buruk, ODMK juga selalu disudutkan dengan menggunakan istilah 'orang gila' sebagai guyonan. Hal ini justru akan membuat pasien gangguan jiwa semakin sulit dipulihkan.

Selain sering disudutkan dengan penggunaan kata 'orang gila', nasib ODMK juga sering tidak mendapatkan perhatian oleh keluarga oleh lingkungan sekitar. Keluarga ODMK seringkali menjadikan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) sebagai tempat 'pembuangan' bagi pasien. Setelah menyerahkan pasien ke RSJ, keluarga seakan-akan bebas dan tidak pernah menjenguk anggota keluarganya tersebut.

Menurut dr Pandu, keluarga melakukan hal tersebut karena tidak memiliki cukup biaya. Letak RSJ yang rata-rata berada di ibukota provinsi membuat keluarga pasien tak bisa terus-terusan menjenguk atau memberikan perhatian.

Bahkan masih banyak pasien gangguan jiwa di daerah harus dipasung karena tidak adanya fasilitas kesehatan jiwa. Untuk itu, Puskesmas di seluruh Indonesia disiapkan untuk bisa menangani pasien gangguan jiwa.

Tak hanya kurangnya pelayanan kesehatan jiwa, psikiater atau dokter spesialis kesehatan jiwa pun masih sangat kurang di Indonesia.

Berdasarkan data Riskesdas 2007, ada 11,6 persen penduduk Indonesia yang berusia diatas 15 tahun yang mengalami gangguan mental emosional atau berkisar 19 juta penduduk. 0,46 persen diantaranya bahkan mengalami gangguan jiwa berat atau sekitar 1 juta penduduk.

Sayangnya, saat ini hanya ada sekitar 600 orang psikiater di Indonesia, 50 persennya ada di ibukota. Padahal idealnya 1 psikiater menangani 30.000 pasien gangguan jiwa, sehingga dibutuhkan 8.000 psikiater (dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia 240 juta).

Sembuhkan pasien jiwa dengan terapi pengobatan dan kasih sayang dan tinggalkan kebiasaan buruk memanggil mereka dengan sebutan orang gila, sinting, sableng atau sarap yang malah menunjukkan ketidakpedulian kita.

(Edisi kaleidoskop kesehatan 2011 detikHealth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar