Senin, 23 Mei 2011

Anggota WHO Sepakati Resolusi Virus Sharing yang Diperjuangkan RI

Your browser does not support iframes.



(dok:who.int)Jenewa, Swiss, Sidang Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly) ke-64 dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa Swiss menyepakati resolusi penting soal virus sharing yang diperjuangkan negara-negara berkembang. Perjuangan yang dimotori Indonesia sejak tahun 2007 itu akhirnya membuahkan hasil dengan disepakatinya masalah transfer virus ke atau dari negara berkembang ke WHO.

Dalam sidang yang berlangsung sejak 16 Mei 2011 itu, negara-negara anggota WHO telah menetapkan kerangka kerjasama multilateral dalam mekanisme virus sharing, akses pada vaksin dan manfaat lainnya.

Penetapan resolusi ini merupakan kesuksesan besar yang dimotori oleh Indonesia sejak tahun 2007 di bawah kepemimpinan Menteri Kesehatan saat itu Dr dr Siti Fadilah Supari, SpJP(K). Saat itu Indonesia berinisiatif untuk mendobrak sistem pandemi influenza dan penggunaan virus yang dinilai tidak adil, tidak setara dan tidak transparan selama 64 tahun.

"Resolusi ini adalah pencapaian yang mulia karena tidak hanya menjamin kesehatan publik global, tapi juga perlindungan umat manusia yang adil, transparan dan setara," ujar Menkes dr Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DrPH yang mewakili negara-negara WHO Asia Tenggara, dalam rilis yang diterima detikHealth, Senin (23/5/2011).

Dibukanya akses terhadap virus influenza dan manfaat-manfaat lain berarti membuka peluang besar bagi peneliti negara berkembang. Itu artinya Indonesia dan negara berkembang lainnya dapat mengembangkan alat diagnostik, vaksin dan obat-obatan terhadap virus H5N1 dan virus lainnya yang berpotensi pandemi termasuk H1N1.

Selama ini beberapa peraturan di WHO dinilai merugikan negara berkembang. Seperti kasus yang terjadi di Meksiko saat terkena pandemik virus H1N1 tahun 2009.
Negara pandemik virus H1N1 yang pertama kali yaitu Meksiko justru susah untuk mendapatkan vaksin, dibutuhkan waktu yang lama dan harus membayar vaksin tersebut.

Dengan resolusi ini diharapkan negara-negara berkembang yang mampu memproduksi vaksin diberi hak untuk membuat vaksin bagi negara tersebut. Selain itu negara yang sudah bisa memproduksi dapat menyisihkan sebagian vaksinnya ke negara yang belum bisa memproduksi vaksin.

Setelah kesepakatan resolusi ini akan ditingkatkan dalam bentuk perjanjian. Menkes mendesak agar segera dibentuk kelompok penasehat yang dapat memonitor dan mengawasi pelaksanaan kerangka virus sharing, akses terhadap vaksin, manfaat lainnya serta Standard Material Transfer Agreement (SMTA).

Hal-hal penting yang disepakati dalam resolusi sharing virus dan sharing benefit ini yaitu:

1. Materi biologis yang menjadi objek Standard Material Transfer Agreement (SMTA) adalah spesimen klinis manusia, virus yang diisolasi dari virus H5N1 tipe liar dan virus influenza tipe liar lain yang berpotensi menimbulkan pandemi serta RNA yang diekstrak dari virus H5N1 tipe liar.

2. Pihak industri farmasi akan memberikan kontribusi dana tahunan sebesar 50 persen dari dana per tahun yang dibutuhkan untuk operasional WHO Global Influenza Surveillance and Response System (WHO GISRS) mulai tahun 2012.

WHO GISRS yaitu sistim jaringan internasional laboratorium influenza yang dikoordinasikan WHO untuk melakukan surveilans, analisa risiko dan memberikan bantuan untuk kesiapan menghadapi pandemi.

3. Transfer material hanya dapat dilakukan antara para pihak yang telah menandatangani Standard Material Transfer Agreement (SMTA) baik antara anggota WHO GISRS (SMTA 1) maupun pihak di luar WHO GISRS seperti laboratorium non pemerintah, universitas, industri farmasi swasta dengan WHO (SMTA 2).

4. Sistem elektronik akan digunakan untuk melacak secara real time dan transparan pergerakan materi bilogis PIP di dalam dan ke luar dari WHO GISRS.

5. Semua pihak tidak diperbolehkan mengklaim HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) dari materi bilogis PIP dan bagiannya yang ditransfer dari WHO GISRS.

6. Manfaat yang didapatkan dari sharing virus H5N1 dan influenza lain yang berpotensi pandemi harus dibagi dengan semua negara anggota, khususnya:


  1. Negara berkembang berdasarkan tingkat pendapatan
  2. Risiko kesehatan publik dan kebutuhannya
  3. Menetapkan harga vaksin secara bertingkat
  4. Donasi vaksin dan alat deteksi
  5. Transfer teknologi dan proses
  6. Pengembangan kapasitas laboratorium dan surveilans
  7. Lisensi non-eksklusif yang bebas royalti kepada WHO yang bisa di sub-lisensikan kepada produsen di negara berkembang.

Dunia menyambut positif ditetapkannya resolusi ini dan seluruh negara anggota WHO sepakat bahwa kerangka ini adalah tonggak bersejarah di bidang kesehatan publik yang meletakkan fondasi untuk ke siapa.


(ver/ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar