Selasa, 30 November 2010

Hari AIDS Sedunia: Pemuka Agama Harus Lebih Terbuka Soal HIV

Your browser does not support iframes.



Emmy Sahertian (dok: rumah philia)Jakarta, Stigma negatif muncul karena sebagian orang lebih suka mengaitkan HIV/AIDS dengan aspek moral dibandingkan fakta ilmiah. Bahkan pemuka agama sekalipun masih banyak yang memandang kondom dan penularan HIV sebagai bagian dari perilaku seks bebas.

Pandangan ini mungkin masih relevan untuk 20 tahun lalu ketika penularan Human Imunodeficiency Viruses (HIV) paling sering terjadi melalui perilaku seks bebas dan pemakaian narkoba suntik. Tak heran jika ketika itu banyak yang mengatakan HIV/AIDS sebagai penyakit perilaku.

Namun untuk saat ini pola penyebaran virus ini telah berubah. Penularan melalui narkoba suntik banyak berkurang, sementara yang justru meningkat adalah penularan dari ibu hamil ke janin melalui plasenta dan dari suami ke istri atau sebaliknya melalui hubungan seks dengan pasangan resmi.

Bahkan cara-cara penularan yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, kini mulai banyak terungkap. Misalnya melalui transfusi darah, tukar menukar alat cukur atau mesin tatto dan bahkan melalui kontak dengan darah ketika menolong korban kecelakaan.

Pengurus Komunitas Peduli AIDS Rumah Philia, Emmy Sahertian menilai fakta-fakta baru ini seringkali dikaburkan oleh sikap para tokoh dan pemuka agama yang selalu berpandangan negatif terhadap upaya penanggulangan HIV. Salah satunya dengan menentang penggunaan kondom.

Gereja Katolik misalnya, bertahun-tahun sejak pandemi AIDS menjadi perhatian dunia, selalu menolak kondom yang dianggap mengurangi nilai-nilai seks sebagai ekspresi cinta. Baru-baru ini saja Paus Benediktus XVI mengubah sikap tersebut, dengan memberikan toleransi penggunaan kondom khusus untuk mencegah penularan HIV.

Sementara di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, penolakan muncul dari sejumlah tokoh dan organisasi keagamaan ketika BKKBN berencana memasang ATM kondom di sejumlah tempat umum. Kondom ditolak karena dinilai justru akan memicu penyalahgunaan untuk seks bebas.

Akibatnya hingga tahun 2010 tingkat penggunaan kondom pada pasangan berisiko di Indonesia sangat rendah, baru sekitar 30 persen. Padahal salah satu indikator Milenium Development Goals 6 (MDGs-6) merekomendasikan penggunaan kondom harus mencapai 65 persen pada 2014.

Emmy yang juga aktif berkarya di RS Cikini sejak tahun 1980-an untuk mendampingi pasien HIV/AIDS stadium terminal (sudah tidak mungkin diselamatkan) prihatin atas penolakan ini. Banyak orang yang tidak berdosa akhirnya ikut tertular gara-gara akses untuk mendapatkan kondom dibatasi oleh stigma negatif.

"Mungkin para ulama Kristen maupun Islam yang seperti ini terlalu banyak memikirkan surga sehingga lupa mendarat di bumi," ungkap Emmy dengan geram, saat ditemui di 'Rumah Philia' yang berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur saat berbincang dengan detikHealth, Rabu (1/12/2010).

Tidak bisa dipungkiri, saat ini banyak kaum perempuan yang tertular HIV dari suaminya sendiri kemudian menularkannya pada anaknya saat hamil. Padahal ibu-ibu rumah tangga ini biasanya bukan pecandu narkoba suntik, setia pada pasangan dan tidak tahu-menahu soal HIV/AIDS.

Entah dari mana sang suami mendapatkan penyakit ini, istri berhak melindungi diri dari penularan virus dengan kondom saat berhubungan seks. Ketika ingin hamil, kondom bisa sesekali dilepas dengan memperhitungkan masa subur dan kenaikan CD4 (cluster of differentiation 4) yang menunjukkan tingkat kekebalan tubuh sang istri.





(up/ir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar